Artikel ini merupakan bagian terakhir dari dua artikel sebelumnya. Baca bagian pertama dan kedua di sini.
Belajar Animasi
Program studi lain yang juga dilirik terkait film adalah Animasi. Di Yogyakarta, setidaknya ada tiga kampus, yakni ISI, Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC), dan Universitas Amikom yang memiliki prodi terkait Animasi.
Dari segi biaya, ISI Yogyakarta mengharuskan mahasiswa yang diterima di tahun akademik 2020/2021 membayar UKT sebesar Rp 500 ribu sampai Rp 2,2 juta per semester. Jika ia masuk lewat jalur mandiri, mesti mengeluarkan uang Rp 3 juta hingga Rp 7 juta untuk Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) di semester 1.
Sementara itu mahasiswa Prodi Animasi Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) angkatan 2020 harus menyediakan Rp 13,175 juta untuk membayar SPP Tetap, SPP Variabel/SKS, SPA, dan herregistrasi di semester 1. Biaya kuliah di semester selanjutnya yang wajib dikeluarkan terdiri dari SPP Tetap sebesar Rp 1,725 juta, SPP Variabel sejumlah Rp 100 rb/SKS, serta herregistrasi sebesar Rp 150 rb.
Kampus lain yang juga menyediakan prodi Animasi adalah Universitas Amikom. Berdasarkan keterangan di laman resminya, ada dua program yang bisa dipilih calon mahasiswa, yakni S1 Teknologi Informasi dan D3 Teknik Informatika. Keduanya sama-sama mempelajari animasi, tapi mahasiswa S1 Teknologi Informasi memperoleh materi tak hanya animasi 2D tapi juga 3D.
Seperti JFA, biaya kuliah di semester 1 tahun akademik 2020/2021 di Universitas Amikom berbeda tergantung jalur masuk. Mahasiswa yang diterima di gelombang khusus dan I misalnya, mesti membayar biaya sarana, SPP Tetap, SPP Variabel 22 SKS, serta biaya pendukung sebesar Rp 22,815 juta (S1) dan Rp 12,940 juta (D3). Mereka yang masuk lewat gelombang II dan III harus mengeluarkan uang dengan jumlah berbeda. Menurut informasi di laman resminya, mahasiswa yang diterima di jalur II mesti membayar Rp 23,815 juta (S1) dan Rp 13,940 juta (D3). Sementara itu, gelombang III mensyaratkan mahasiswa mengeluarkan Rp 24,815 juta (S1) serta Rp 14,940 juta (D3) buat biaya kuliah di semester 1.
Di samping biaya masuk dan kuliah per semester di atas, mahasiswa Prodi Animasi juga mungkin harus menyiapkan dana untuk membeli laptop serta alat gambar digital. Hal ini dikarenakan kegiatan menggambar tak sepenuhnya dilakukan secara manual.
Mahasiswa Prodi Animasi Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) Mikael Pasa mengatakan awalnya ia masih menggunakan buku gambar ketika mengerjakan tugas praktik. Tapi, laki-laki berusia 19 tahun tersebut membeli laptop ramah aktivitas multimedia sejak kegiatan menggambar dilakukan secara digital.
“Kalau buat tugas-tugas modal pertama itu laptop minimal Rp 10 juta. Laptop gaming gampangannya sudah enak buat nugas. Aku beli juga alat gambar digital Rp 1 jutaan meski di kampus ada alatnya,” katanya.
Di luar laptop serta alat gambar digital, mahasiswa angkatan 2018 ini juga mesti membeli buku gambar serta clay buat bikin patung. Ia mengaku dirinya menghabiskan Rp 15 juta, termasuk membeli laptop untuk keperluan tugas kuliah.
Baca juga: Dilema Keterbatasan Akses dan Identitas Budaya Tuli
Apa yang dikatakan Mikael Pasa lantas diamini oleh Nabella Dewi (20). Mahasiswa S1 Teknologi Informasi Universitas Amikom ini mengatakan kampusnya menyediakan fasilitas berupa komputer dan pen tablet. Tapi, ia merasa perlu menyediakan alat ini buat diri sendiri.
“Fasilitas di kampus bisa dipakai tapi saya butuh fasilitas sendiri di rumah. Minimal harus punya komputer sendiri dengan spesifikasi bagus, buat gambar digital butuh pen tablet. Kalau di rumah rangkaian komputer itu Rp 8 juta dan saya beli pen tablet Rp 1,5 juta,” jelasnya.
Nabella menjelaskan selain animasi, mata kuliah lain yang berkaitan dengan komputer seperti jaringan komputer, multimedia, algoritma komputasi, serta rekayasa perangkat lunak diajarkan di semester awal. Setelah itu mahasiswa diminta memfokuskan diri di dua peminatan, yaitu animasi atau game.
Menurut Anggi (24), dua peminatan di atas juga berlaku di D3 Animasi ISI Yogyakarta. Di awal semester, ia mempelajari dasar animasi serta game. Baru dirinya memilih konsentrasi animasi di semester 3. Terkait pengerjaan tugas, Anggi mengatakan dia hanya mengandalkan laptop seharga Rp 4 jutaan. Mahasiswa angkatan 2015 ini menjelaskan komputer dengan spesifikasi bagus memang dibutuhkan terutama jika membuat animasi 3D. Tapi, sejak awal kuliah sampai akhir, ia memfokuskan diri pada animasi 2D.
“Tergantung tiap orang, kalau aku manfaatin yang aku punya. Laptopku RAM 4GB Core I3 itu aku pakai dari TA SMK sampai bikin TA kuliah, kuat-kuat aja. Buat software, kalau laptopnya enggak kuat ya cari yang lain yang lebih ringan. Pas kuliah misal nge-render untuk kuliah animasi D3, aku pakai fasilitas kampus,” katanya.
Anggi mengatakan ia menghabiskan dana sebesar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta saat membuat TA. Sebagian uang ia peroleh dari tabungan, sisanya dari kumpulan uang beasiswa serta hasil kerja lepas. Selain TA, ia mengaku bahwa dirinya juga mengeluarkan dana untuk pameran karya yang dilaksanakan setidaknya lima hingga enam kali selama kuliah.
“Pameran range iurannya Rp 50 ribu sampai Rp 300 ribu per orang. Tergantung jumlah mahasiswa dan mau bikin pameran seperti apa. Untungnya di kampus ada tempat pameran jadi enggak perlu sewa,” katanya.
Tugas lain yang membutuhkan dana, selain di atas, menurutnya adalah saat ia harus membeli cat di semester awal. Malitta mengatakan ia mengeluarkan uang Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu untuk keperluan itu.
Kebutuhan Menonton dan Membaca
Kegiatan yang memperkaya pengetahuan seperti menonton film serta membaca buku berguna bagi mahasiswa ketika mendalami ilmu tentang film. Aktivitas menambah referensi dalam berkarya tersebut tak jarang pula membutuhkan dana yang berbeda-beda setiap individu.
Shandra mengatakan ia mempersiapkan dana untuk menonton film sebanyak Rp 250 ribu per bulan. Khusus buku, dirinya mengaku mengeluarkan Rp 50 ribu buat membeli buku teks kuliah serta Rp 80 ribu sampai Rp 120 ribu guna membeli buku novel. Sisanya ia mencari referensi di perpustakaan.
Sementara Maria menjelaskan ia hanya membeli buku empat kali sejak semester 1 hingga semester 6. Total ia menghabiskan 600 ribu untuk kebutuhan itu sebab ada buku berbahasa Inggris dengan harga lebih mahal yang ia beli. Di luar itu, ia mengakses buku yang ada di perpustakaan atau mengunduh dari intenet.
“Kalau film, aku jarang nyari film. Paling sewa Netflix doang, itu juga gara-gara pandemi. Aku lebih ke festival, karena aku juga bikin pemutaran film sendiri. Kalau bioskop sebulan dua kali film yang bagus aku tonton jadi pengeluarannya Rp 100 ribu satu bulan. JAFF aku juga nonton per hari di tahun pertama tapi karena susah jadi aku daftar tiket terusan yang Sahabat Hanoman,” katanya.
Baca juga: “Pasir Hisap” di Asian Project Market 2020: Wawancara Yuki Aditya dan Luthfan
Serupa dengan Maria, Putri juga menyempatkan dua kali menonton film dalam sebulan. Ia sering pula melihat video di Youtube. Buku, di sisi lain, tidak jadi pilihannya ketika mencari referensi sehingga ia jarang mengeluarkan uang buat membeli buku.
Lebih lanjut, Dhea mengatakan ia menghabiskan Rp 400 ribu per bulan untuk membeli buku, menonton film, dan mengikuti seminar. Rata-rata dalam satu bulan ia bisa menonton film di bioskop tiga kali. Ketika film yang ditayangkan sedang bagus, ia pernah menikmati film di bioskop sampai enam kali.
Namun, bagi mahasiswa prodi Animasi seperti Nabella dan Anggi, mereka tidak mengeluarkan dana sama sekali untuk kebutuhan mencari referensi. Nabella mengatakan pengetahuan soal animasi saat ini banyak tersedia di internet.
Sementara Anggi menjelaskan ia banyak mengandalkan buku di perpustakaan kampus atau buku elektronik dari dosen. Ia juga mencari referensi di Youtube atau Vimeo juga mendatangi pemutaran film.
“Kalau Jogja bagusnya ada komunitas animasi club. Di situ suka muter film animasi dari berbagai macam jenis. Membuka pikiran banget,” katanya.
Foto muka artikel adalah kampus MMTC (Sumber: campus.quipper.com)