Selasa, 28 November 2023, Watchdoc menggelar premiere dan diskusi “Tanah Moyangku”, film dokumenter besutan sutradara Edy Purwanto. Film dokumenter berdurasi 84 menit ini berkisah tentang konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia, dari sabang sampai merauke, yang juga dikupas dari sisi sejarah. Film ini sendiri diproduksi atas kerjasama Watchdoc dan KITLV, yang dimulai sejak awal tahun 2023, meski ide tentang film ini sudah hadir sejak dua tahun silam.
Andhy Panca Kurniawan, direktur dan pendiri Watchdoc, membuka premiere dan diskusi “Tanah Moyangku”. Dalam kesempatan tersebut, Panca menceritakan bagaimana Watchdoc awalnya didirikan olehnya dan Dandhy Dwi Laksono ketika masih aktif sebagai wartawan di dua media yang berbeda. Kala itu tahun 2009 mereka mulai aktif memproduksi lebih dari 400 film dokumenter, lebih dari 1000 feature televisi dan setidaknya 100 video komersial. Selanjutnya, keduanya memutuskan fokus membesarkan Watchdoc dan meninggalkan media tempat mereka bekerja
“Kami tidak pernah mendesain Watchdoc menjadi menjadi besar karena khawatir banyak yang takut bekerja sama dengan kami. Awalnya Watchdoc menyewa satu ruangan di sebuah NGO, lalu kemudian kami menyewa garasi rumahnya sebagai studio kami. Dari garasi itulah berbagai karya dokumenter Watchdoc dimulai” Ungkap Panca
Berbagai film dokumenter Watchdoc banyak memuat kritikan yang terbilang keras terhadap berbagai problem sosial, ekonomi dan politik yang kemudian diseminasikan melalui channel YouTube. Sayang, tidak banyak yang mendiskusikannya. Berawal dari angan supaya film dokumenter yang diproduksi bisa didiskusikan banyak komunitas, Watchdoc lalu menggagas ajakan kepada berbagai komunitas untuk menonton film dokumenter karya Watchdoc dengan menghubungi mereka. Hasilnya, ribuan orang dari banyak komunitas menonton film Watchdoc. Bahkan, kampus memutar film mereka sebagai materi kuliah.
Berkat komitmen berkarya selama 12 tahun dan metode diseminasi yang dianggap berhasil melalui pemutaran di komunitas – komunitas, Watchdoc dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay pada 11 November 2023 lalu. Singkatnya, Watchdoc dinilai mampu mendemokratiskan pengetahuan melalui film dokumenter dan metode diseminasi dengan melibatkan banyak komunitas melakukan pemutaran film bersama.
Tanah Moyangku, Merekam Problem Struktural Konflik Agraria di Indonesia
Tanah Moyangku, sebuah film dokumenter panjang yang berhasil menggambarkan problem struktural konflik agraria di Indonesia sejak masa kolonial. Film ini berangkat dari kolaborasi peneliti KITLV (lembaga penelitian Belanda), Prof. Ward Berenschot dan Dr. Ahmad Dhiaulhaq yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul “Kehampaan Hak”. Buku inilah yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah film dokumenter berdurasi 84 menit dengan judul “Tanah Moyangku”.
Film ini secara apik mengurai fakta sejarah problem struktural konflik agraria sejak masa kolonial yang terus dilanggengkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini. Aspek sejarah diungkapkan oleh seorang ahli sejarah JJ Rizal melalui percakapannya dengan Prof. Ward Berenschot, sambil sesekali bercanda tentang nenek moyang peneliti Belanda itu yang menjajah nusantara. Pertarungan batin Ward, juga digambarkan melalui adegan dimana Ward mencari dan berziarah ke makam kakeknya di Indonesia yang adalah tentara KNIL.
Cerita pilu tentang perampasan tanah oleh korporasi swasta sawit, kriminalisasi petani dan masyarakat adat setempat membuat para penonton di ruang cinema Asrul Sani, Gedung Trisno Sumardjo, Taman Ismail Marzuki, tercekat. Dalam film dokumenter tersebut, tercatat 95,7 lahan telah dikuasai swasta, sementara warga hanya memperoleh sekitar 1,07% saja.
“Negara ini jahat sekali, warga itu hanya punya tanah, butuh tanah buat hidup, tapi itu saja nggak dikasih”, tutur Benaya, salah satu narasumber diskusi pasca pemutaran film.
Rasa pilu saat mengambil gambar di lapangan masih terekam dalam memori Benaya maupun sang sutradara, Edy Purwanto, yang kemudian menyebut bahwa film ini berkisah tentang negara yang rakus tanah.
Dewi Kartika, Seknas KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), sebagai salah satu nara sumber, yang sehari – hari mendampingi warga dalam konflik agraria menuturkan, peristiwa pilu warga sudah menjadi makanan sehari – hari dan dengan apik digambarkan melalui film. Dari tahun 2015 – 2022, terjadi setidaknya 2701 konflik agraria di berbagai daerah Indonesia. Sekitar 1934 orang dikriminalisasi, 814 dianiaya, 78 orang tertembak, dan 69 orang diantaranya tewas.
Turut hadir nara sumber lain yaitu Muhammad Isnur, Ketua YLBHI, dan Prof Ward Berenschot yang hadir secara daring
Menurut JJ Rizal dalam film dokumenter “Tanah Moyangku”, konflik agraria ini berakar dari masa kolonial Belanda. Pada tahun 1870, kolonial Belanda memberlakukan Agrarische Wett atau Undang – Undang Pertanahan yang salah satunya mengatur tentang deklarasi domein atau wilayah. Setelah merdeka, Presiden pertama Indonesia, Sukarno mengesahkan Undang – Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 yang menghormati tanah adat dimana negara tak bisa serta merta mengklaim tanah tersebut sebagai tanah negara. Namun, semenjak Suharto berkuasa, UU ini tidak pernah dijadikan acuan sehingga memicu konflik agraria, dimana negara mengklaim semua tanah adat sebagai tanah negara dan memberikannya kepada swasta. Padahal, secara turun temurun, masyarakat adat setempat mempunyai aturan batas kepemilikan tanah dengan makam leluhur dan aturan norma lainnya. Sementara, negara hanya berpatok pada selembar kertas sertifikat tanah tanpa memperhatikan tradisi turun – temurun masyarakat adat yang sudah menempati lahan tersebut dari jaman nenek moyang.
Di penghujung diskusi, Muhammad Isnur, Ketua YLBHI berujar “Film ini layak untuk menjadi tontonan wajib bagi semua hakim, aparat hukum, mahasiswa hukum supaya mengetahui seluk beluk konflik agraria, bagaimana penjajahan kolonial terus dihidupkan. Selama kuliah hukum saya nggak sepenuhnya mengerti tentang konflik agraria, tapi film ini sanggup menyajikan penjelasan sederhana tentang problem struktural dan rumit konflik agraria. Sehingga, film ini juga wajib menjadi materi kuliah hukum agraria bagi para mahasiswa”
Isnur melanjutkan, selayaknya organisasi masyarakat sipil turut membangun dan mengembangkan Watchdoc untuk terus memproduksi karya yang bermanfaat bagi warga.