Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening
Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar perdagangan manusia, imigran gelap, perbudakan, dan eksploitasi manusia? Umumnya orang akan mengacu pada satu gender yaitu perempuan.
Padahal, faktanya laki-laki juga menjadi korban eksploitasi, terutama terjadi di wilayah perairan. Sejak tahun 2005 saja sudah tercatat 2.300 korban perdagangan manusia berjenis kelamin laki-laki di wilayah perairan Timur Indonesia. Mereka dijadikan anak buah kapal dan dikuras tenaga dan akalnya untuk kepentingan para mafia perikanan.
Hal ini disampaikan oleh Ayu Hannah Zaimah, Project Assistant Counter Trafficking Labour Migration Unit dari IOM (International Organization for Migration) dalam sesi diskusi pemutaran film bertemakan human trafficking di IFI, Kamis (5/12).
IOM bekerja sama dengan beberapa pihak menggelar Global Migration Film Festival 2019 pada 28 November–8 Desember. Kamis (5/12) lalu, film yang diputar adalah Buoyancy (Rodd Rathjen), bercerita tentang pemuda 14 tahun asal Kamboja yang ingin mengadu nasib di Bangkok, eh malah terjebak human trafficking dan berakhir menjadi anak buah kapal di perairan Thailand.
Kisah pilu ini walaupun berbalut fiksi sebetulnya diangkat dari peristiwa nyata. “Ada begitu banyak orang yang dijanjikan bakal mendapat pekerjaan di luar negeri, tapi berakhir menjadi anak buah kapal dan tenaganya diperas,” kata Ayu.
Kalau Anda masih ingat, tahun 2015 lalu kasus eksploitasi manusia di Benjina (Maluku) sempat heboh, ketika ada ribuan orang asing yang mengalami eksploitasi di perairan Indonesia. Sejak saat itu, isu human trafficking di perairan menjadi sorotan.
Jangan Mudah Tergiur
Edukasi juga mulai digalakkan ke masyarakat pesisir pantai dan perairan, terutama di wilayah Aceh, Manado, dan Maluku supaya tidak mudah tergiur dengan tawaran kerja gratis. Butuh keilmuan khusus untuk bisa bekerja di perkapalan secara profesional. Nah, para mafia perkapalan dan perikanan biasanya mencari mangsa dengan menjanjikan segala kemudahan.
“Kalau kapal-kapal perikanan ilegal enggak pernah mikir apakah orang tersebut punya keahlian, asal laki-laki dan bisa hidup, mereka diperkerjakan,” tambah Ayu lagi.
Baca juga: Festival Film Migrasi Global 2019 Siap Sambangi 10 Kota di Indonesia
Tentunya ini sesuatu yang miris, bukan hanya tidak mendapat upah tetapi juga mengalami kehidupan yang tidak layak. Tidur bersama ikan busuk, minum air AC, serta ketidakperikemanusiaan lainnya.
Memang, kemiskinan dan keinginan untuk bertahan hidup biasanya menjadi alasan orang-orang kecil untuk melakoni hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi, Ayu mengatakan kalau akhir-akhir ini terjadi perubahan tren, di mana orang-orang dari pedesaan cenderung gampang menerima bujukan mafia karena tuntutan lifestyle. “Sekarang trennya orang gampang terbujuk kerja di luar negeri karena ingin ganti gadget, jadi bukan semata kemiskinan lagi,” jelas Ayu.
Film Sebagai Media Edukasi
Film sebagai medium sejatinya menjadi ruang untuk mengedukasi masyarakat mengenai suatu isu. Inilah menjadi salah satu alasan diadakannya Global Migration Film Festival. “Dengan membagi emosi kemanusiaan dari kisah-kisah hidup para imigran diharapkan dapat membawa perspektif baru mengenai fenomena sosial terkhusus isu perdagangan manusia,” kata Dejan Micevski, selaku Deputy Chief of Mission dari IOM.
Buat Anda yang ingin menonton film-film bertema imigran dan migrasi ini, bisa disaksikan di @America Pacific Place pada tanggal 12–14 Desember pukul 16.00–18.00 WIB dan 18.30–20.30 WIB.
Selain di Jakarta, rangkaian pemutaran film Global Migration Film Festival juga diadakan di Tanjung Pinang, Makassar, Kupang, Surabaya, Semarang, Medan, Pekanbaru, Malang, Yogyakarta, dan Pontianak. Informasi lebih lengkap mengenai pemutaran film di festival ini bisa Anda simak di Instagram iomjakarta.
