Uncategorized

Festival Journal – Menonton Film-film Terseleksi dan Tematik dalam Pesta Film Solo

Selama tiga hari 13 sampai 15 Mei 2016 saya mengikuti gelar Pesta Film Solo 2016 (PFS 2016) yang merupakan gawean dari Kine UNS Solo. Dalam acara ini, diputar dua puluh film terseleksi dari berbagai komunitas film yang dibagi dalam lima sesi ditambah pada hari kedua satu slot dialokasikan untuk showcase film pendek Solo pilihan.

Merupakan ajang ekshibisi dari film-film terseleksi yang telah masuk selama beberapa bulan waktu submisi dan bukan ajang awarding, akan sangat mungkin kemudian judul artikel ini dipertanyakan karena mengandung unsur festival, mengingat selama ini festival film diidentikan dengan pameran film yang nantinya ditutup oleh pemberian penghargaan -sebagaimana terlihat melalui obrolan dengan seorang kawan. Ini bisa jadi dipengaruhi oleh ajang awarding besar yang menggunakan kata “festival” seperti yang dapat ditelusuri sendiri melalui tulisan Makbul Mubarak di Cinema Poetica. Kalau tidak ada awarding, berarti bukan festival film. Benarkah demikian? Tanpa berpanjang-panjang, festival dan pesta sama-sama merupakan bentuk perayaan. Oleh karenanya, mengikuti beberapa bacaan, catatan mengikuti Pesta Film Solo juga dinamakan Festival Journal.

Baca juga: Hadir Kembali, Pesta Film Solo Suguhkan Tema 90-an

registrasi penonton pesta film solo 2016 infoscreening.co

Suasana registrasi penonton Pesta Film Solo dalam salah satu sesi pemutaran film komunitas saat belum mulai ramai. (foto: Dokumentasi Infoscreening)

Sejumlah 150 sampai 250 penonton memadati ruang Teater Taman Budaya Jawa Tengah dalam tiap slot sesi ekshibisi yang dalam pengelihatan penulis mencapai puncaknya di hari kedua atau hari Sabtu 14 Mei 2016. Ekshibisi film tiap harinya juga diisi dengan pemutaran film-film yang dianggap menjadi penanda zaman dalam perfilman tanah air. Hari pertama diputar film “Kenikmatan Tabu” karya Ackyl Anwari keluaran 1994, “Bulan Tertusuk Ilalang” karya Garin Nugroho keluaran 1995, dan “Petualangan Sherina” karya Riri Riza tahun 1998 yang didahului film pendek “Sudah Sore, Sebentar Lagi Jam 5, Cepat Datang!!” karya Dennis Adhiswara untuk hari pertama dan “Pulang” karya Putri Rienda Haifa di hari kedua. Menonton “Pulang” untuk kedua kalinya dalam kesempatan tersebut, bagi penulis sendiri film ini menjadi lebih terasa karena konteks PFS yang sebelumnya telah menampilkan isu perihal perfilman tanah air yang mengupas juga tentang monopoli distribusi yang mematikan bioskop-bioskop dan secara signifikan mengurangi layar yang beredar di Indonesia. Di malam terakhir, sesi pemutaran tematik diisi oleh film “Dino” (2014) karya Edward Gunawan, dan “Kamis ke-300” karya Happy Salma.

Tidak hanya pemutaran film, tiap malamnya usai pemutaran film utama, diadakan diskusi dengan tokoh perfilman tanah air usai pemutaran film tematik. Diskusi hari pertama menghadirkan kritikus film senior JB Kristanto dan Dimas Jayasrana pegiat komunitas film sekaligus pengamat perfilman Indonesia. Diskusi ini dimoderatori oleh Mazda Radita, pegiat komunitas di Solo.

Dalam diskusi tersebut Pak JB terlebih dahulu memaparkan data bahwa sesungguhnya perfilman tanah air mulai surut pertengahan tahun 90-an. Di sana ia menjabarkan perbandingan produksi film dengan produksi film-film bertema sexploitation dan salah kaprah yang diakibatkan beberapa hal. Tidak lupa Pak JB juga turut memaparkan hal-hal yang menurutnya berkontribusi pada melemahnya produksi film di tanah air. Sedangkan Dimas dengan pembacaannya selama ini dalam mengikuti perfilman di Indonesia lebih mengomentari mengenai gap yang ada dalam kekosongan tersebut dengan segala dampak yang ada.

Hari kedua usai pemutaran “Bulan Tertusuk Ilalang” diadakan diskusi yang menghadirkan Garin Nugroho, sutradara Bulan Tertusuk Ilalang yang dengan pengalamannya mengalami pasang surut perfilman di Indonesia, seperti represi terhadap karir dan karyanya juga bagaimana ia bersiasat agar tetap bertahan berkarir, hidup di jalur yang ia senangi, serta perubahan yang terjadi dalam dunia perfilman sebelum dan sesudah reformasi. Dalam diskusi ini, Garin Nugroho ditemani Arturo Gunapriatna yang turut terlibat dalam pembuatan “Bulan Tertusuk Ilalang” dan kini tergabung dalam Lembaga Sensor Film, dan juga Adrian Jonathan Pasaribu sebagai pengamat perfilman yang membagikan hal yang ia temukan perihal perkembangan komunitas film paska 90-an.

Adrian Jonathan, Arturo Gunapriatna, dan Garin Nugroho dalam Pesta Film Solo 2016. (foto: Dokumentasi Infoscreening)

Adrian Jonathan, Arturo Gunapriatna, dan Garin Nugroho dalam Pesta Film Solo 2016. (foto: Dokumentasi Infoscreening)

Sementara hari ketiga usai pemutaran “Petualangan Sherina” yang disambut meriah walaupun banyak peserta komunitas yang telah pulang, diadakan diskusi panel dengan aktor senior Pong Harjatmo dan Jujur Prananto selaku penulis naskah dari petualangan Sherina. Dalam kesempatan tersebut Pong mengimbau peserta komunitas yang hadir untuk dapat ikut memajukan perfilman Indonesia sedangkan Jujur Prananto menceritakan proses produksi dari film “Petualangan Sherina” yang pada saat itu juga mengangkat fenomena Sherina yang mencuat di belantika musik tanah air.

Jaka dari UPN Yogyakarta mengaku sangat terkesan dengan pemutaran Petualangan Sherina ini. Menonton Petualangan Sherina di saat telah berkegiatan film, Jaka menemukan logika-logika film yang sebelumnya belum ia temukan saat menonton film ini waktu kecil. Jaka sendiri terkesan dengan pemilihan film yang ditampilkan dalam program pemutaran tematik dengan secara khusus menyebut film “Kamis ke-300”. “Gak nyangka aja Happy Salma bikin film seperti ini” jelas Jaka.

Forum-forum dalam Pesta Film Solo 2016

Seperti banyak festival film lainnya, Pesta Film Solo turut mengundang komunitas untuk hadir meramaikan acara dan mengadakan Forum Temu Komunitas. Terselenggara dalam dua malam, malam pertama membicarakan komunitas film tahun 90-an dengan narasumber Darwin Nugraha. Sedangkan malam kedua menampilkan Arturo Gunapriatna dalam kapasitasnya sebagai anggota LSF.

Dalam forum temu komunitas malam pertama, dimoderatori oleh Andi Budrah SR dari 23 Project Surabaya, Darwin menceritakan tentang sejarah komunitas dan kegiatan yang ia lakukan di Yogyakarta. Bagaimana komunitas-komunitas film waktu itu bersinergi dan tanpa mementingkan ego sektoral.

Darwin Nugraha, Andi Budrah dan Adrian Jonathan mengisi forum komunitas Pesta Film Solo 2016. (foto: dokumentasi Infoscreening)

Darwin Nugraha, Andi Budrah dan Adrian Jonathan mengisi forum komunitas Pesta Film Solo 2016. (foto: dokumentasi Infoscreening)

Dalam forum ini, Dimas Jayasrana dan Adrian Jonathan Pasaribu, dua individu yang telah lama berkecimpung di dunia komunitas film, kemudian ikut bergabung untuk ikut sharing. Di sana topik mulai bergeser membahas hal yang selama ini menjadi perhatian banyak pihak terutama pegiat komunitas yaitu menyoal kepegiatan pelaku komunitas dengan tantangan atas realitas hidup. Dimas sendiri dalam kesempatan tersebut membagikan bagaimana kegiatan-kegiatannya dalam komunitas selama ini turut membantu karirnya saat ini, dan juga bagaimana kesempatan-kesempatan yang bertebaran sesungguhnya dapat diambil oleh pelaku komunitas film.

Sedangkan pada malam komunitas malam kedua, dibahas mengenai sensor film dengan menghadirkan Arturo Gunapriatna dari Lembaga Sensor Film yang langsung lanjut sebagai panelis setelah sebelumnya mengisi diskusi panel usai pemutaran tematik. Tampak sebagian peserta menyimak dengan seksama. Mengingat isu yang merebak belakangan akan masuknya LSF lebih dalam pada pemutaran komunitas film, yang secara langsung juga berpengaruh pada jenis-jenis kegiatan lainnya.

Terus terang sebagai pengelola media penulis merasa bersalah karena memilih tidak mengikuti dengan khusyuk forum komunitas hari kedua. Ada alasan-alasan tertentu, situasi-situasi yang saya baca melalui beberapa hal dari diskusi usai pemutaran utama, yang membuat saya memilih duduk-duduk saja di luar forum. Ini juga didasari atas pengalaman ketika berhadapan dengan individu yang telah berada pada posisi tertentu merespon sikap dalam berbagai bentuk. Pun tentu saja dihadirkannya dan kehadiran Arturo Gunapriatna yang menetap melayani tanya jawab hingga lewat tengah malam tetap merupakan hal yang patut diapresiasi. Begitu juga halnya dengan tokoh-tokoh yang dihadirkan tiap malamnya dalam Pesta Film Solo 2016.

Menanggapi forum temu komunitas hari kedua tersebut,  Yulia Hesti, mahasiswi Jogja Film Academy yang dalam kesempatan tersebut mendapat konfirmasi bahwasanya film-film yang hadir di ruang publik harus terlebih dulu diproses oleh sensor yang mana ia rasa memberatkan dan kontra-produktif dengan kegiatannya membuat film dan menekshibisikannya. Lain lagi bagi Shadiq dari Liga Film Mahasiswa ITB menanggapi positif dan menyebut bahwa dalam forum tersebut ia menemukan bahwa kegiatan komunitas  film sedang ada yang memperjuangkan di LSF.

Hari kedua penyelenggaraan, paginya diisi kelas yang membahas mengenai distribusi dan ekshibisi yang dibawakan oleh Dimas Jayasrana. Materi dalam kelas ini dibawakan dengan komprehensif dari dasar-dasar distribusi dan kanal-kanalnya yang dapat ditemukan di buku teks, maupun hal-hal yang diperoleh melalui pengalaman Dimas selama ini yang dapat berguna bagi mereka yang bergerak di bidang komunitas dan prospek-prospek yang dapat dilakukan ke depannya. Secara parsial forum ini melanjutkan bahasan malam temu komunitas sebelumnya.

Kelas Distribusi dan Ekshibisi oleh Dimas Jayasrana - Pesta Film Solo 2016 (foto: Dokumentasi Infoscreening)

Kelas Distribusi dan Ekshibisi oleh Dimas Jayasrana – Pesta Film Solo 2016 (foto: Dokumentasi Infoscreening)

Sempat berdiskusi dengan salah satu kurator yang ditunjuk mengenai perannya menyeleksi film, Tunggul Banjaransari, Tunggul menyebut bahwa pilihannya (delapan film) yang masuk dalam program ekshibisi Pesta Film Solo 2016 lebih dari sekedar bagus atau tidaknya film. Menurutnya, kedelapan film memberi kemudahan bagi juru program atau ekshibitor untuk merangkainya dalam slot pemutaran. “Karena kebayang konteksnya apa dan mau ngomongin apa di masa sekarang” jelas Tunggul.

Perihal film-film yang tidak masuk, Tunggul mengawali bahwa kita bisa membaca bahwa filmmaker kini, penontonnya,  seperti penonton youtube. “Sederhananya gini, film paling difokuskan beberapa titik. Ibaratnya seperti stand up comedy kamu bikin punch-line aja, yang lain gak penting. Kaya patahan-patahan, yang dia kejar adalah menit kedua, yang lain kosong. Buat apa kamu nonton sepuluh menit?”.

Perihal festivalnya sendiri, Tunggul yang menganggap kerja-kerja yang ia lakukan dalam Pesta Film Solo lebih sebagai kerja selektor ketimbang kurator -seperti titel yang dialamatkan di acara, menganggap variabel yang ingin ditampilkan terlalu banyak dan tidak spesifik. Tunggul sendiri menyayangkan film-film yang dipilih tidak diantarkan dengan semestinya dengan pengantar dari selektor, yang menurutnya dapat membuat PFS memiliki pernyataan isu terkini.

Tunggul berharap ke depannya PFS tetap ada. “Kalau sebagai penonton, aku pengen PFS tetap ada, entah membawa konteks seperti apa. Kalau semisal aku diminta bantuin lagi, dengan posisi sama atau sedikit sama aku mau bantuin itu, dan aku mau menjamin itu karena aku sayang banget statement dari film yang aku pilih gak kesampean” terang Tunggul.

Ditanya mengenai alasannya memasukan submisi ke Pesta Film Solo, Wahyu Agung Prasetyo selaku sutradara yang filmnya terseleksi masuk dalam PFS mengaku tidak ada alasan khusus. Ia hanya ingin filmnya “Nilep” ditonton dan terdistribusi seluas-luasnya dimanapun itu.

Datang sebagai sineas, Wahyu yang biasa dipanggil Agung atau Koclak oleh teman-temannya pun cukup senang dengan euforianya, “acaranya seru, rame, jadi ajang ketemu para filmmaker dan temen-temen komunitas dimana kita bisa dapet kenalan baru, jaringan baru dan saling tukar wawasan baru”. Lanjut Agung, sesi diskusi yang mengundang tokoh-tokoh yang telah memiliki nama menjadi nilai plus tersendiri. Namun begitu, Agung memberi catatan di mana dalam sesi diskusi dengan filmmaker film-film komunitas, diskusinya kurang terjalin dengan baik, sebagaimana yang ia alami ketika menjadi pembicara.

Rafi Faruq Haidar Ketua Panitia Festival Film Solo mengaku senang dengan telah terselenggaranya Pesta Film Solo 2016. “Alhamdulillah PFS semakin ke sini semakin ramai dari tahun-tahun sebelumnya, komunitasnya juga semakin banyak karena semakin mudah mencari info tentang pemutara-pemutaran”. Rafi berharap Kine Fisip UNS semakin kompak, dengan film komunitas dan film wong solo yang lebih berkesan.

Most Popular

To Top