Berita

Nostalgia Via Layar dalam Satu Dekade Pesta Film Solo

Merayakan usia satu dekadenya pada tahun ini, Pesta Film Solo (PFS) hadir dengan tema “Gerbang Waktu.” Sesuai temanya, film yang ditampilkan didominasi kisah-kisah yang berkaitan dengan waktu, baik masa lalu, maupun masa kini. Dihelat di masa pandemi, PFS hadir melalui kanal virtual bicaraevent.id dan youtube, 8 hingga 10 April 2021.

Mengunjungi yang Lampau

Dibuka oleh film Love is a Bird besutan sutradara Richard Oh, Pesta Film Solo dilanjut dengan pemutaran lima film pendek. Pada sesi selanjutnya, diputar film berjudul Golden Memories. Film ini berkisah tentang penelusuran jejak-jejak sinema keluarga di Indonesia. Sinema keluarga adalah bentuk sinema di luar sirkuit komersial, yang lebih menekankan pada relasi intim dengan orang dan situasi di sekitar.

Salah satu sutradara Golden Memories, Afrian Purnama, menyebut keberadaan sinema keluarga saat ini justru semakin beragam imbas dari perkembangan teknologi. “Malah makin masif sih. Kalau saya melihat, (seperti) instastory itu sebenarnya bentuk advance dari sinema keluarga. Tujuan eksistensinya sama. Merekam aktualisasi diri dan orang lain,” papar Afrian.

Menerka Masa Depan

Hari kedua Pesta Film Solo dibuka dengan pemutaran tiga film pendek dari sutradara Jason Iskandar. Salah satu film pendek yang ditampilkan yaitu Cerita Tentang Jendela. Film ini mengisahkan tentang situasi masyarakat Indonesia di awal masa pandemi. Film produksi Studio Antelope ini bereksperimen dengan metode yang menarik, yaitu menggabungkan footage kiriman banyak orang. Ratusan footage itu memperlihatkan mereka yang sedang berdiam diri di rumah dengan benang merah jendela. Film ini menarik, selain sebagai “penanda masa”, juga seolah mengirimkan pesan, bawah tak ada kata berhenti dalam berkarya.

“(Pandemi) ini kayak change sih sebenarnya, transisi. Sebelumnya ada sebuah model bisnis atau sistem yang sudah ajeg, tapi tiba-tiba karena pandemi, itu disrupted, terganggu sistemnya. Dan saat ini kita masih mencari (format baru) kan,” ungkap Jason saat sesi diskusi.

Jason Iskandar yang juga dalam persiapan peluncuran film panjang pertamanya Akhirat, mengajak para pembuat film untuk bangkit, dan melihat pandemi ini sebagai peluang. “Ini kesempatan bagi filmmaker muda buat menunjukkan karyanya. Karena tadi, layarnya ter-ekspand. Bukan lagi hanya layar bioskop, tapi juga layar TV, HP, laptop dll. Jadi ada banyak layar (baru) yang sebenarnya sedang menunggu karya kita. Ini kesempatan yang harus kita manfaatkan,” tambah Jason.

Terlihat dan yang Tidak Terlihat

Hari ketiga, sekaligus hari terakhir PFS, diputar lima film pendek. Kemudian setelahnya, diputar film penutup, Sekala Niskala, dari sutradara Kamila Andini. Film ini berkisah tentang dua anak kembar buncing (laki-laki dan perempuan) yang saling terikat satu sama lain. Diceritakan Tantra mendadak jatuh sakit, dan harus dirawat di rumah sakit. Ternyata kejadian itu berpengaruh pada saudarinya Tantri. Tantri jadi sering gelisah dan tak nyenyak tidur. Kejadian-kejadian magis, antara nyata dan tak nyata datang silih berganti. Hari-hari Tantri pun selanjutnya dihabiskan untuk menghibur saudaranya.

Dalam sesi diskusi, Kamila Andini menjelaskan alasannya menjadikan kisah Sekala Niskala ini menjadi film panjang keduanya. “Saya ingin project yang punya ruang untuk mencari siapa diri saya. Sebagai kreator, sebagai orang Indonesia. Kalau di festival ada istilah ‘film dari Indonesia’, nah apa sih Indonesia itu, seperti apa manusia Indonesia. Itu yang ingin saya bicarakan di project ini,” papar Kamila.

“Film Sekala Niskala banyak membicarakan dualisme. Kita itu manusia yang percaya semua hal yang ingin kita percayai. Kita tidak pernah rasional dengan apa yang kita percayai, tapi itulah apa adanya kita. Kita berada di antara seremoni, doa-doa, misteri-misteri, takhayul-takhayul, dan memang itulah kita,” tambah Kamila.

Baca juga: Pesta Film Solo #9: Dentum Montase

Setelah sesi diskusi dengan Kamila Andini, resmi sudah Pesta Film Solo tahun ini berakhir. Serangkaian program PFS dengan tema “Gerbang Waktu”, setidaknya sedikit mengobati kerinduan akan kenormalan-kenormalan yang telah lalu. Semoga keadaan segera membaik dan kita bisa berkumpul lagi, membicarakan pandemi yang telah berlalu dengan riang gembira.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top