Artikel

Kuliah Umum FFD 2019: Perkembangan Sinema Indonesia Setelah Reformasi

Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening

Sinema Indonesia banyak mengalami perubahan sejak Reformasi hingga saat ini. Berawal dari munculnya film buatan sineas indie sehabis tahun 1998, sinema Indonesia lantas bergerak semakin mengikuti arus utama dan memperoleh pengakuan internasional. Perkembangan tersebut, menurut Thomas Barker (Asisten Profesor Film dan televisi University of Nottingham Malaysian Campus), dikarenakan film telah menjadi budaya populer masyarakat Indonesia. Ia ada di mana-mana, termasuk di televisi juga koran, dan menjadi bagian hidup orang banyak.

Di kuliah umum “Indonesia Cinema after New Order: Going Mainstream” yang diadakan Festival Film Dokumenter (FFD) di Universitas Gadjah Mada pada Rabu (4/11) lalu, Barker menjelaskan beberapa hal bisa menunjukkan bahwa film Indonesia kini bergerak mengikuti arus utama.

“Di antaranya kolaborasi antara pemodal lama dan baru, genre yang selaras dengan selera pasar, dan keterlibatan dalam festival atau dengan modal, pemain, atau bisnis antarbangsa. Misal, film Ratu Ilmu Hitam. Genrenya horor, orang Indonesia suka film horor. Bintang filmnya memakai Zara JKT 48 serta modalnya dari Rapi Film dan Sky Media, pemodal lama juga baru. Post production dilakukan di Bangkok dan dipromosikan dengan pemasaran media sosial yang kuat. Film ini juga remake film lama yang diperankan Suzzana. Ada fenomena remake sekarang,” ujar dosen di University of Nottingham Malaysia tersebut.

Mendapat Perhatian Global

Menurut Barker film Indonesia menjadi populer, menguntungkan, dan meraih perhatian di level global, salah satunya karena karya sineas tersebut relevan dengan kehidupan anak muda yang tak jauh dari perkara cinta, identitas, dan sebagainya. Ia lantas menyebutkan film Ada Apa dengan Cinta? serta Eiffel I’m in Love yang rilis awal tahun 2000-an. Selain itu, kemampuan sineas menemukan kembali genre horor dan sinema bertema Islami juga dinilai Barker mampu menjawab keinginan penonton sehingga membuat film menjadi budaya populer. Film bernuansa Islami, jelasnya, muncul mulai tahun 2008.

Baca juga: Film “Turning 18” Tandai 18 Tahun Hadirnya FFD

Kondisi di atas, kata Barker, tak terjadi di era Orde Baru. Kontrol yang kuat membuat film mesti disensor dan diatur dari sisi konten. Tahun 1980-an, seiring berdirinya pusat perbelanjaan layaknya mal yang melayani selera kelas menengah kota, monopoli bioskop jejaring Cinema 21  membuat film Indonesia yang tadinya bersinar lambat laun jalan di tempat. Kemunculan siaran televisi swasta pada tahun 1990-an pun mendorong banyak pembuat film dan produser beralih pekerjaan membikin konten televisi. Akhirnya, pengusaha film yang tersisa di tahun itu hanya menghasilkan film seks dengan kualitas rendah.

Barker mengatakan film Indonesia sempat mengalami mati suri tahun 1990-an. Apalagi, ada jurang pemisah antara industri film dan kemauan penonton yang didominasi anak muda. Tapi, beberapa perusahaan seperti CJ Group serta Lippo Group kini mendirikan bioskop di Indonesia selain Cinema 21. Di samping itu, pemodal besar baik lama maupun baru berikut venture capital, produser independen, dan pemodal dari luar negeri juga turut menggerakkan industri film. Hal ini tak terlepas dari sinema yang telah menjadi budaya populer masyarakat Indonesia setelah Reformasi.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top