Artikel

Subtitle dan Perannya Terhadap Perkembangan Industri Film Indonesia

Film merupakan medium visual yang juga berkomunikasi lewat audio. Selain musik, cerita dalam sinema juga dihantarkan melalui sound effect dan dialog. Dialog dalam film kerap kali dipahami penonton dari subtitle atau teks terjemahan dialog ke dalam sebuah bahasa. Tak hanya menjadi penghantar cerita, subtitle ternyata berpengaruh pada perkembangan industri film. Dalam webinar yang diadakan penyedia layanan bahasa Wordsmith Group Jumat (18/03) lalu, hal ini dibahas oleh sutradara Riri Riza, produser film Indonesia Lala Timothy, dan penerjemah subtitle Ika Wulandari.

Riri Riza mengatakan bahwa ada aspek-aspek penting dalam dialog yang perlu jadi perhatian ketika menerjemahkan subtitle. Pertama, setiap dialog yang ditulis oleh penulis di dalam skenario kemudian diartikulasikan oleh aktor dan sutradara itu memiliki makna. Arti kata tersebut bisa bersifat langsung atau bermakna metafora.

Kedua, karakterisasi tokoh dalam film berpengaruh pada gaya bahasa, pemilihan kata-kata, dan caranya mengartikulasikan ungkapan. Ketiga, ada soal lain misalnya etnografi yang digambarkan melalui film. Etnografi ini salah satunya tampak dari penggunaan bahasa atau dialek bahasa tertentu dari suatu daerah.

Ketiga hal di atas menurut Riza mampu ditangkap oleh para penerjemah subtitle filmnya; Gie (2005), Tiga Hari untuk Selamanya (2007), dan Bebas (2019). Ia mengatakan John McGlynn membuat subtitle film Gie sedangkan subtitle Tiga Hari untuk Selamanya dan Bebas dibikin Tony Rayns serta Rizal Iwan. Untuk dua film yang disebut pertama, subtitle dibuat karena keduanya mendapat undangan untuk diputar di festival film internasional. Sementara itu, subtitle film Bebas dibikin karena film tersebut rilis di tengah kondisi ketika pasar film Indonesia semakin terbuka lebar.

Baca juga: Memori, Imajinasi, dan Terapi dalam Film Indonesia Sejak Tahun 1998

“Tokoh dalam Gie adalah seorang aktivis mahasiswa yang hidup di tahun 1951-1969. Jadi di dalam film ini ada tiga aspek dialog tadi secara diksi, karakterisasi, maupun etnografi yang sangat kaya karena dia bicara sebuah era khusus dari Indonesia. Memilih penerjemah yang memiliki wawasan itu pun jadi hal penting. John McGlynn terlibat dalam banyak penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris sehingga kemampuan menerjemahkan dialog film ini sangat bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.

Apa yang dikatakan Riri lebih lanjut diamini oleh Ika. Perempuan yang menjadi penerjemah subtitle film sejak tahun 2013 tersebut mengatakan bahwa aspek karakterisasi dan diksi memang perlu diperhatikan ketika membuat subtitle. Selain itu, dialog yang diterjemahkan juga perlu ditulis ulang agar sesuai dengan suasana adegan dalam film.

“Subtitle yang bagus itu butuh ditulis ulang agar sesuai dengan yang dibahas Mas Riri sama mood-nya udah sampai mana di scene ini misalnya. Saya juga mesti mengambil keputusan mana yang akan ditinggal dan yang tidak saat enggak dapat akses komunikasi intens yang langsung ke sutradara. Di situ pemahaman tentang intrinsik film akhirnya jadi penting. Empati juga bermain ketika saya memasukkan closed caption (CC) atau subtitle yang juga menjelaskan suara, bunyi, dan jenis musik. Closed caption ini ada untuk teman tuli dan sulit mendengar,” terangnya.

Ika menjelaskan film dengan subtitle yang berjudul The Jazz Singer muncul pertama kali tahun 1927. Subtitle pada film tersebut dibuat karena biayanya yang lebih murah dibandingkan melakukan dubbing atau pengambilan ulang gambar dengan dialog bahasa asing.

“Tapi baru di pertengahan tahun 1990-an subtitle mendapat perhatian para akademisi linguistik. Jadi sebelum itu terjemahan subtitle itu dianggap kurang memenuhi syarat penerjemahan yang baik secara linguistik karena ada batasan ruang juga durasi,” ujarnya.

Baca juga: Lagu untuk Anakku: Tentang Musik yang Menguatkan Penyintas 1965

Dari segi teknis, Lala menjelaskan ada Standar Operasional Produser (SOP) yang harus diikuti subtitler atau penerjemah subtitle. “Manusia dewasa itu biasanya membaca sekitar 15 hingga 17 karakter dalam waktu satu detik sehingga dengan hitungan tersebut biasanya ketika membuat subtitle hanya satu line kita diberikan batasan sekitar 37 hingga 42 karakter. Untuk foreign film biasanya dibatasi subtitle itu hanya dua baris jadi tidak boleh melebihi tiga baris. Ini menjadi SOP distributor yang harus dipahami teman-teman produser,” katanya.

Bagi Lala yang telah memproduseri banyak film sejak tahun 2008, ada tiga tantangan yang ia temui ketika menerjemahkan subtitle. Pertama, mengatasi perbedaan budaya yang ada pada film. Menurutnya genre film yang dialognya paling sulit diterjemahkan adalah film komedi sebab ia sensitif terhadap budaya. Kedua, menjaga nuansa dan tone dari film. Lala mengatakan idiom, ekspresi, lelucon, dan komentar sarkas jadi hal yang paling susah diterjemahkan. Ketiga, adanya bahasa yang tidak dapat diterjemahkan dalam film. Ia lalu mencontohkan tantangan tersebut lewat film Parasite.

“Di Parasite itu ada yang namanya Jjapaguri. Itu sebenarnya mie instan Korea Chapaghetti dan Neoguri yang di-mix resepnya, disebutlah namanya Jjapaguri. Nah si translator dengan Bong Joon Ho akhirnya memutuskan untuk meng-create satu bahasa baru untuk si Jjapaguri ini ke dalam bahasa Inggris jadinya ram-don yaitu ramen-udon. Di sini perlu ada komunikasi intens antara penerjemah dengan sutradara agar misi atau insight yang ingin disampaikan tersampaikan di subtitle tersebut,” terangnya.

Lala mengatakan subtitle menjadi “tambahan” yang terjangkau ketimbang dubbing. Dubbing membutuhkan proses lebih lama juga memerlukan voice actors sehingga biayanya lebih mahal. Meski begitu, negara-negara di Eropa seperti Perancis justru punya preferensi untuk menggunakan dubbing.

“Di samping jadi affordable ‘add-on’, keuntungan lain adalah kita mempunyai reach yang makin besar. Kita jadi memiliki potensi untuk distribusi baik secara komersial maupun aklamasi lewat festival dan sebagainya. Dengan adanya subtitle kita mempunyai kesempatan untuk bisa ditonton dan diputar di negara lain yang tidak menggunakan bahasa Indonesia,” ujarnya.

Baca juga: Film Baby Blues Tambah Deretan Kolaborasi Film Lokal dengan Platform Streaming

Lala menerangkan tren permintaan yang tinggi terhadap film-film asing muncul sejak pertengahan tahun 2019. Ia lalu mencontohkan pasar film Amerika yang mulai mengonsumsi film-film asing dari negara lain. “Kenapa saya pakai Amerika karena yang paling sulit ditembus market-nya untuk film foreign khususnya film Indonesia beberapa tahun yang lalu justru Amerika. Audiens Amerika itu tidak terbiasa membaca subtitle. Mereka malas baca subtitle dan itu membuat distributor jadi agak reluctant untuk mem-pick up film-film yang menggunakan subtitle,” jelasnya.

Film Parasite karya Bong Joon Ho kemudian mampu mengubah kondisi tersebut. Keberadaan Netflix, menurut Lala, juga jadi katarsis penyebaran film-film asing. Serial drama Money Heist yang berbahasa Spanyol, serial thriller Lupin dengan bahasa Perancis, film India, drama Korea, juga anime Jepang pun digemari penonton. 

“Ini membuktikan bahwa bahasa bukan lagi menjadi barrier film foreign untuk tembus ke negara-negara yang berbahasa Inggris atau bahasa-bahasa lain. Dengan adanya digital network atau digital platform, kebutuhan akan film-film lokal dan foreign juga semakin tinggi. Karena selain ada subtitle, Netflix biasanya juga mem-provide dubbing dengan banyak sekali bahasa yang cukup populer. Buat filmmaker hal ini membuat mereka punya market lebih besar. Mereka punya keleluasaan lebih luas dan bisa meng-create apapun,” tutupnya.[]

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top