Artikel

Berdaya di Tengah Pandemi: Upaya Pekerja Film Menjaga Kewarasan

“Saya pikir bagi kita yang tetap di rumah, yang paling membantu kita di saat krisis (tanpa disadari) adalah seniman. Dari musik, film, dan beragam seni dan konten lainnya. Mereka membuat kita tetap waras. Namun merekalah yang paling menderita secara finansial. Sungguh Ironis.”

Kutipan di atas diterjemahkan dari twit Gustika Jusuf Hatta di akun twitter-nya @Gustika (4/04) merespons pandemi corona yang kian mengkhawatirkan di Indonesia. Twit Gustika menarik, sebab saat itu pemerintah kian gencar menerapkan aturan pelarangan kegiatan yang menimbulkan keramaian. Akibatnya berbagai kegiatan seni harus dihentikan yang artinya banyak pekerja seni yang terpaksa menganggur. Ironisnya di saat masyarakat diminta untuk tetap di rumah, dan para pekerja seni ini menganggur, justru merekalah yang menghibur kita via daring.

Keadaan sulit ini memang bukan hanya menimpa pekerja seni (termasuk film), namun juga berbagai sektor. Meski kerap diasosiasikan dengan kehidupan glamor dan gemerlap, tetap saja hingga saat ini pekerja film masih banyak menghadapi kesulitan. Tidak semua pekerja film yang jumlahnya banyak di tiap departemen itu memiliki stabilitas arus pemasukan. Sifat pekerja film yang rata-rata pekerja lepas (freelancer) dengan sistem kontrak membuat mereka selalu diliputi ketidak pastian finansial. Mungkin saja yang disinggung Gustika di atas adalah mereka yang masih bisa makan untuk beberapa bulan ke depan. Namun bagaimana yang tidak?

Baca juga: Dampak Corona pada Industri Film, Antara Cobaan dan Pembelajaran

Seperti disampaikan dalam harian Kompas (1/04), beberapa pekerja film beralih profesi. Mereka mengerjakan perkerjaan yang masih bisa dilakukan di masa pandemi ini. Padahal, dengan spesialisasi dan pengalaman yang mereka miliki, seharusnya mereka bisa tetap berdaya, semisal dengan memberi kelas daring. Apabila mau jeli, sebenarnya pemerintah bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan antara pekerja seni dan peminat kelas ini. Alih-alih memberi materi prakerja yang menghabiskan dana besar dan tidak jelas efisiensinya.

Meski keadaan sulit, sebagian pekerja film mencoba mencari celah untuk berdaya. Salah satu inisiatif bagus dari Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) yang menggalang dana untuk para pekerja film. Melalui Kitabisa Aprofi menggalang dana untuk meringankan beban para pekerja film yang terdampak pandemi. Begitu pun Asosiasi Sutradara Indonesia IFDC yang menggelar diskusi dan workshop daring berdonasi.

Inisiatif seperti yang disinggung Gustika pun, semakin lama semakin marak. Misal makin banyak yang menggelar diskusi via daring, seperti yang dilakukan Visinema, Kineforum, dan Kinosaurus. Para pembuat film pun banyak yang tak ragu menampilkan karyanya di Youtube. Di sisi lain, ada festival yang tetap terselanggara dengan format daring, seperti yang dilakukan UCIFest, UMN. Bahkan proses pitching proyek film yang biasanya dilakukan tatap muka, di masa pandemi ini pun dilakukan via daring. Seperti sutradara Yosep Anggi Noen, yang mengabarkan proyek film dokumenter terbarunya soal band Voice of Baceprot terpilih untuk dipresentasikan di festival dokumenter du Reel, Swiss.

Berbagai inisiatif dan berita baik itu memang sudah semestinya dijaga dan diperbanyak. Di masa pandemi seperti ini, kala pemerintah sendiri keteteran, memang setiap bidang perlu saling membantu rekan sebidangnya. Setidak, selemah-lemahnya tindakan, kita bisa saling menghibur satu sama lain agar tetap sehat dan–sekali lagi seperti kata Gustika–tetap waras.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top