Berita

FESTIVAL FILM 100% MANUSIA KEMBALI HADIR SECARA VIRTUAL

JAKARTA – Festival Film 100% Manusia akan kembali diselenggarakan untuk kelima kalinya. Penyelenggaran ini akan segera digelar pada 25 November sampai dengan 1 Desember 2021. 

Festival tahun ini akan diselenggarakan secara virtual untuk kedua kalinya, setelah pertama kali digelar tanpa kehadiran fisik pada 2020 lalu, akibat pandemi Covid-19. Seperti halnya tahun lalu, festival film 100% Manusia dapat diikuti oleh masyarakat secara daring melalui Festival Scope. 

Penyebaran virus dan pembatasan kegiatan masyarakat tidak menghentikan semangat festival untuk menyuarakan suara-suara kreatif yang memiliki tujuan dan niat yang sama; untuk meningkatkan kesadaran tentang berbagai masalah kemanusiaan dan hak asasi manusia. 

Baca juga: Ruang Aman dalam Alteraksi dan Pesantren

Platform sinema independen yang dijalankan oleh yayasan nirlaba ini diharapkan bisa terus relevan, meskipun  berada di tengah krisis, untuk mengedukasi masyarakat terkait dengan isu kesetaraan. 

“Kita terus bergerak dalam memberikan materi edukasi informatif, advokasi, melalui media seni dan budaya. Serta tentunya memberikan ruang-ruang gerak dan diskusi yang tidak hanya berfokus pada film, namun juga kegiatan lain seputar isu kesetaraan dan hak asasi manusia,” ujar Direktur Yayasan Bhinneka Cipta Setara Kurnia Dwijayanto pada konferensi pers, Senin (15/11/2021). 

Tahun ini, Festival Film 100% Manusia mengambil tema “Journey”, yang dimaknai sebagai perjalanan individu atau secara kolektif dalam menyuarakan hak asasi manusia dan kemanusiaan, di tengah pandemi. Pada saat yang sama, tema yang berarti “perjalanan” itu juga bertujuan untuk merayakan setengah dekade perjalanan festival film  tersebut. 

Festival Director Rainda Cuaca menegaskan bahwa festival sebagai platform seni, tidak akan berhenti mendukung mereka yang sedang memerjuangkan kesetaraan dan hak asasi. 

“Kami bisa hadir karena kontribusi pihak terkait yang percaya bahwa masa depan kemanusiaan dan hak asasi manusia bisa lebih baik dari yang ada sekarang,” ujar Rainda pada kesempatan yang sama. 

Festival Film 100% Manusia Tahun Ini

Sejak 2017, Festival Film 100% Manusia memutar berbagai film khusus tema hak asasi manusia dan kemanusiaan. Rainda menyebut hingga saat ini, sepertinya baru hanya ada satu festival yang fokus pada isu-isu tersebut di tanah air. 

Festival Film 100% Manusia tahun ini akan menayangkan 25 film, baik film panjang (feature) maupun pendek (shorts), dan bisa diakses secara gratis melalui platform daring festivalscope.com.

Selama tujuh hari festival, akan diadakan juga 15 acara non-film (fringe events), dan satu program baru yaitu 100% Film Chat. Program teranyar ini akan berisi dialog dan diskusi bersama sineas tentang film. 

Film pembuka (opening film) festival tahun ini adalah “The Exam” (2021) karya Shawkat Amin Korki, produksi Jerman dan Irak. Sebelumnya, film ini sudah memenangkan sejumlah penghargaan di sirkuit festival internasional. 

Selanjutnya, film asal Swedia “My Father Marianne” (2020) arahan sutradara Marten Klingberg akan menjadi film penutup tahun ini. Film ini juga telah menyabet sejumlah penghargaan internasional. 

Puluhan film lain akan ditayangkan selama acara tersebut seperti “Our Lady of the Nile” (2020) dari Prancis, “Her Job” (2020) dari Yunani, “Beans” (2020) dari Kanada, “True Mothers” dari Jepang, serta “No One Inside” (2020) dari Indonesia. 

Untuk film pendek, “Dear to Me” (2021) karya Monica Vanesa Tedja dari Indonesia juga akan diputar di festival ini. Film ini berhasil memenangkan penghargaan Junior Jury Award – Special Mention Open Doors: Shorts Locarno Film Festival 2021, First Step Awards di Jerman, serta masuk daftar nominasi Film Cerita Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini.

Rain mengimbau, agar para penonton bisa memerhatikan batas usia film. “Jika menemukan age rating dewasa, berarti isu yang ditampilkan membutuhkan kematangan berpikir untuk memprosesnya.”

Pentingnya Representasi

Isu representasi dalam sinema tentu tidak lepas dari pusaran isu kemanusiaan dan hak asasi manusia. Khususnya, representasi kelompok minoritas yang ceritanya jarang, atau bahkan tidak pernah, dilihat di layar sinema. 

Film “Dear to Me” (2021), menjadi salah satu yang paling disoroti oleh penonton film di Indonesia. Bukan karena isu yang diangkat, melainkan prestasinya di kancah mancanegara. Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahkan mengapresiasi film ini pada Malam Anugerah FFI 2021, bersama sejumlah film lainnya seperti “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, “Yuni”, dan “Laut Memanggilku”.  

Akan tetapi, produser film “Dear to Me”, Astrid Saerong, tidak menampik bahwa representasi tetap merupakan elemen penting dalam suatu film. “Film itu medium yang universal. Film adalah media yang bisa ditonton dengan banyak orang. Kita bisa mengetahui kondisi sosial yang ada di sekitar kita, di negara atau di dunia, melalui film.”

Oleh sebab itu, representasi kelompok minoritas seperti LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Queer), khususnya di Indonesia, dinilai Astrid penting untuk ada di suatu medium kreatif tidak terkecuali film. 

Sutradara Lucky Kuswandi, yang menjadi Duta Festival Film 100% Manusia tahun ini, justru mengatakan kekuatan film paling penting adalah untuk merayakan hal yang penting yaitu hak asasi manusia. Seperti halnya film, festival film juga dinilai berperan sentral dalam merayakan serta menyuarakan hak asasi manusia. 

Fungsi festival film lainnya juga adalah sebagai pembentuk ekosistem, dalam mendukung tumbuhnya sineas-sineas baru yang memiliki perspektif hak asasi manusia dan kemanusian. 

“Saya berharap dengan teman-teman menonton film di festival ini bisa bersama-sama melawan stigma, diskriminasi, prasangka—dan itu disampaikan lewat karya,” kata Lucky, yang juga baru saja memenangkan Film Favorit di FFI 2021 untuk “Ali & Ratu-Ratu Queens”.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top