Wawancara

Memutar Balik Kehidupan dalam Film Ala Wahyu Agung Prasetyo

Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening

Jauh sebelum Wahyu Agung Prasetyo membuat Mak Cepluk hingga Tilik, ia pernah membuat film menggunakan handycam ketika dirinya duduk di bangku sekolah dasar. Tapi rekaman tersebut hanya disimpan karena Agung tak tahu film itu selanjutnya mesti dibagaimanakan. Ketika lulus SMA, dia memutuskan masuk program studi Ilmu Komunikasi setelah menonton pemutaran yang diadakan komunitas Cinema Komunikasi UMY. Sejak itu, film tidak bisa lepas dari kehidupan pria kelahiran 26 tahun silam tersebut.

Karya Agung yang pertama lahir, Mak Cepluk, diproduksi tahun 2014. Setelah itu ia konsisten membuat film pendek lain seperti Nilep (2015), Singsot (2016), Anak Lanang (2017), dan Tilik (2018). Modal pengetahuan membuat lima film tadi, mulai ia dapatkan ketika kuliah juga saat bergabung dengan kelompok pencinta sinema di kampus.

Tapi, Agung menemukan titik balik pada tahun 2012, sewaktu dirinya mengikuti proses syuting FTV dan film panjang buatan sutradara Andi Bachtiar Yusuf sebagai pemeran tambahan. Ia menyadari apa yang diajarkan di kampus tak selalu sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Sejak itu Agung belajar film secara autodidak. Laki-laki kelahiran Jakarta itu kerap mendatangi salah satu rumah produksi yang ada di Yogyakarta untuk menggali pengetahuan.

Baca juga: Moviesphere: Menggali Kisah Sebuah Kota dari Film Pendek

Karyanya tersebut lantas memperoleh apresiasi di dalam maupun luar negeri. Unsur humor menjadi ciri Agung di setiap film yang ia buat. Dia juga menggunakan aktor dan aktris anak-anak di film seperti Mak Cepluk, Nilep, Singsot, serta Anak Lanang. Karakter perempuan yang ditampilkan dalam sinema buatannya vokal dan berani. Seusai pemutaran film-filmnya dalam acara bertajuk Moviesphere (18/01/2020) di salah satu mal di Yogyakarta, kami pun berbincang tentang alasan di balik pilihan-pilihan Agung tersebut.

Setidaknya sudah ada lima film pendek yang kamu buat. Bagaimana nih cara kamu meramu cerita?

Jadi aku selalu punya cara yang jadi uji cobaku sebelum memang layak  untuk dijadikan sebuah film. Karena aku merasa film itu kayak anakku sendiri di mana dia kalau keluar itu memang waktunya keluar. Jadi cara uji cobaku itu pertama ke orang awam yang tidak tahu. Terus ke orang yang sepantaran sama aku, pembuat film, lalu tahap ketiga ke yang lebih senior. Uji cobanya itu dua tahap ketika masih naskah film habis itu jadi bentuk filmnya. Dua hal itu selalu aku lakukan karena aku merasa membuat film itukan kolektif ya. Walaupun secara gagasan dari kami, tapi itukan yang bakal mewakili banyak orang secara relatable.

Ceritanya harus pengalaman pribadi?

Kalau sampai sejauh ini, aku merasa walau tidak mengalami tapi ada unsur yang masih terhubung sama aku, aku akan angkat itu. Cuma kalau dirasa isu ini sangat jauh dari aku, beberapa kali aku coba, ujung-ujungnya jadinya stuck. Maksudnya aku enggak bisa ngembangin ceritanya. Ya sudah, dan aku berpikir ternyata aku mengkhianati diri sendiri kalau begini.

Beberapa film yang dibuat memakai pemeran anak-anak. Kenapa?

Sebetulnya di beberapa film itu ada yang aku “masuk” ke anak-anak. Contohnya Anak Lanang cuma meminjam perspektifnya mereka. Mak Cepluk itu aku masuk ke anak-anak. Karena basically aku itu senang banget sama anak-anak. Senang main sama anak-anak, bertingkah laku kayak anak-anak itu aku masih senang sampai sekarang. Kalau syuting sama anak-anak itu rasanya capek tapi terhibur banget, kayak dapat energi. Aktor anak-anak di beberapa film itu juga sama dan mereka baru pertama kali kenal film.

Bagaimana mengajarkan akting ke anak-anak yang pertama kali bermain film? Apa nih kesulitannya?

Aku selalu ngomong sama mereka anggap aja ini enggak ada kamera. Udah dianggap main aja. Mereka itu temenan. Yang baru ketemu di lokasi itu di Anak Lanang, cuma karena lebih besar usianya jadi lebih mudah berbaur. Kadang mereka terus enggak serius waktu syuting. Tapi mereka mikir, aku bilang “Kalau kayak gini kalian enggak kasihan sama aku apa?” Nanti filmnya enggak jadi. Mengatur mereka yang pengin jajan juga sulit. Yang paling ngeselin itu aku udah syuting, aku syuting tiga hari kalau enggak salah, besoknya syuting lagi kan, mereka potong rambut dong berdua. Aku mengulang lagi dari awal. Ada juga yang pakaiannya dicuci, jadi enggak continuity. Tapi salahku juga karena enggak kasih tahu. Dulu masih belajar banget kan.

Soal pemeran anak-anak, karakter bocah perempuan yang ditampilkan berani dan vokal. Isu soal poligami juga muncul di film Anak Lanang. Ada alasan khusus?

Kalau dilihat dari Mak Cepluk sampai Tilik itu ngomongin perempuan semua. Aku baru menyadari itu setelah selesai bikin film. Setelah aku sadari ternyata aku hidup sehari-hari itu sama perempuan. Aku selalu sama cewekku dan karena orang tuaku bercerai jadi aku tinggal sama ibuku dan adikku. Karena kehidupanku yang selalu sama perempuan itu, tanpa sengaja napas itu kebawa karena aku mengamati si perempuan-perempuan yang ada di depanku ini.

Jadi karakter perempuan di film serupa dengan kehidupan nyata?

Karakter perempuan di film ada yang dicomot dari orang-orang di dekatku, ada yang sebenarnya di realita tidak terjadi seperti itu tapi aku bisa membuat di film itu terbalik. Dia yang jadi superiornya. Kayak contohnya Tilik yang ide ceritanya dari ibuku yang selalu diomongin banyak orang karena bercerai. Oke nyatanya begitu, tapi aku mau buat sesuatu yang aku balik, gantian ibuku yang super di film. Kayak gitu.

Baca juga: “Anak Lanang” Bersinar di Indonesian Short Film Festival 2019 SCTV

Aku merasa hidup itu pahit. Aku ingin merasakan hidup yang manis itu gimana ya. Itu aku buat terbalik di film. Sebaliknya juga gitu. Misalnya hidupku manis tapi aku pengin bikin yang kontras, ya aku bikin di film. Selalu yang aku angkat dan gesek itu keluarga karena problematika selama hidupku itu di keluarga. Hal itu yang selalu aku tonjolkan selain humor.

Bicara soal sinema, film bagi kamu itu apa dan siapa yang memengaruhi selama berkarya jadi pembuat film?

Film itu jadi napasku. Tiap hari aku bernapas, tiap hari aku ngomongin film dan aku merasa menjadi orang yang berguna karena film. Dari aku lahir sampai kuliah umur 19 tahun aku merasa enggak berguna sama sekali. Aku lihat ibuku berprestasi, aku melihat adikku berprestasi sementara aku kok nothing banget ya. Setelah ketemu film aku itu merasa hidup banget. Aku bisa punya gagasan yang bisa aku tularkan ke banyak orang. Aku bisa menghibur banyak orang itu rasanya senang.

Kalau siapa yang mempengaruhi grade paling pertama adalah orang-orang di dekatku, entah pasangan atau keluarga. Yang kedua aku punya panutan senior-senior pembuat film di Jogja. Ada Mas Ifa Isfansyah, Mas Eddie Cahyono, Mas Ismail Basbeth, dan Mas Yosep Anggi Noen. Yang ketiga adalah orang yang benci sama aku. Itu jadi motivasi buatku.

Menurutku, Mas Anggi itu orang yang sangat jenius. Aku sampai bingung pola pikirnya dia itu bagaimana sih dan hal tersebut yang buat aku penasaran. Kalau Mas Ifa itu orang yang kalem tapi dia punya sesuatu yang bisa menghipnotis banyak orang. Sementara Ismail Basbeth itu orang yang paling cerewet di antara mereka semua tapi ia punya semangat yang bisa nularin ke orang-orang yang lagi ngobrol sama dia. Dan aku suka banget sama Ismail karena menurutnya bikin film itu melihat refleksi kehidupan.

Tahun ini apakah ada rencana bikin film lagi?

Kalau aku pribadi tahun ini aku punya target satu film pendek, satunya naskah film panjang yang semoga di tahun depan aku sudah bisa memproduksi film panjang itu. Kupikir udahlah prosesnya enggak usah kelamaan. Aku harus ke step selanjutnya, ke step film panjang.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top