Tulisan merupakan bagian dari program apprenticeship Infoscreening
“Heh Git, emangnya ngapain kalau Hari Ibu itu?”
“Ya harusnya kita ngucapin ke ibu kita. Seperti yang diajarin di kelas”
“Wah, enggak mau aku. Aku sudah pernah kaya gitu, Git. Tapi ibuku diam aja. Malah teriak-teriak gara-gara nonton sinetron. Lah, bikin sebel kan”
“Git, emang harus kaya gitu ya? Malu aku”
Penggalan dialog di atas adalah terjemahan dari bahasa Jawa, yang diambil dari film pendek Anak Lanang. Topik tentang Hari Ibu menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang dibahas di film karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo ini. Empat anak usia sekolah dasar bernama Danang, Samsul, Sigit, dan Yudho berbincang soal perlu atau tidak mengucapkan selamat ke orang tua masing-masing. Samsul menolak karena punya pengalaman tak enak. Ucapannya tak dibalas oleh sang ibu. Danang mengaku malu sebab tidak terbiasa. Sementara Sigit memandang penting sehingga ia mengucapkannya sepulang sekolah.
Selain Anak Lanang, film buatan Agung lainnya seperti Singsot serta Tilik juga diputar dalam acara Moviesphere yang berlangsung pada Sabtu (18/1) di Lippo Plaza Jogja. Jika obrolan empat anak kecil soal hal-hal dalam kehidupan sehari-hari jadi kisah utama di film Anak Lanang, Singsot menceritakan tentang kejadian menyeramkan serta insiden sesudah peristiwa itu yang dialami seorang bocah laki-laki bernama Pulung. Terakhir, Tilik mengisahkan perjalanan sekelompok perempuan ke kota yang dipenuhi oleh petualangan serta gosip tentang Dian, si kembang desa.
Setelah pemutaran film selesai, Agung menjelaskan latar belakang pembuatan tiga filmnya yang masing-masing diproduksi pada tahun 2016, 2017, dan 2018. Untuk Singsot, ia mengaku teringat akan nasihat dari orang tua agar tidak bersiul saat malam hari supaya tak ditakuti setan.
“Ketika dewasa aku berpikir, dulu ngapain orang tuaku selalu nakut-nakutin kayak gitu. Aku coba flashback lagi lalu dijadiin film. Anak lanang itu juga sama, teringat saat kecil ketika kita masih SD pulang sekolah terus saling ejek orang tua. Cuma waktu itu kugabung sama pengalaman pribadi ketika orang tuaku bercerai terus aku berpikir, oke aku jadi anak broken home gimana kalau misalkan aku membayangkan jadi anak korban poligami. Itu yang coba aku gali dan aku sambungkan pengalaman pribadi sama dengan yang aku terka-terka,” ujarnya.
Gunjingan pada status ibunya yang bercerai, kata Agung lebih lanjut, menjadi inspirasi membuat Tilik. Meski berbeda kisah, unsur Jawa sangat kental di ketiga film buatan pria kelahiran tahun 1993 itu. Agung mengaku hal tersebut tak terlepas dari lingkungan tempat ia tinggal serta berkegiatan selama ini.
Melihat Yogyakarta lewat Film Pendek
Agung menceritakan bahwa dirinya mulai serius menggarap film saat kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai sutradara film pendek, ia menyadari mesti berjuang agar film pendeknya mendapatkan perlakuan setara dengan film panjang. Agung pun merasa bersyukur bisa tumbuh besar di Yogyakarta sehingga bertemu dengan pembuat film yang beragam di Kota Gudeg ini.
“Selain itu, banyak ruang pemutaran dan diskusi seperti Moviesphere di Jogja yang mana biasanya kalau aku ketemu sama pembuat film di luar kota itu banyak yang mengeluh kenapa kota-kota lain tidak bisa seperti Yogyakarta. Nah, cuma memang bahkan di Jogja yang cukup stabil sekarang ini saja film pendek masih dianggap sebelah mata. Padahal kalau kita mau melihat sebuah negara atau kota justru up to date-nya itu dari film pendek,” katanya.
Lebih lanjut, Koordinator Program Klub DIY Menonton (KDM) Suluh Pamuji mengatakan melimpahnya produksi film pendek di Yogyakarta tak dibarengi dengan peningkatan jumlah layar penayangan di luar kampus atau universitas. Maka dari itu, KDM menyambut ajakan Lippo Plaza Jogja yang ingin menarik pengunjung anak muda untuk menyelenggarakan Moviesphere di halaman lantai Ground mal tersebut.
Baca juga: Segera Tayang Serentak, Film “Nyanyian Akar Rumput” Tuntut Janji Jokowi
“Setidaknya aku bisa memanfaatkan penonton yang telah lama mengikuti KDM jadi 50 persen Lippo dapat penonton KDM yang ke sini, sisanya kami bisa mengenalkan film pendek ke penonton baru. Ini menarik karena kadang orang benaran awam enggak tahu film pendek dan ketika mereka ingin tahu mereka nemuinnya di mana. Ya kita jawab, salah satunya di Moviesphere,” jelasnya.
Moviesphere pertama kali diadakan bulan November tahun lalu dan dikhususkan untuk menayangkan film-film pendek sineas Yogyakarta atau kota lain. Baik Suluh mau pun Anton Tri Yunanto, Marcomm Department Head Lippo Plaza Jogja, berharap Moviesphere bisa menjadi bagian dari agenda rutin mal tersebut.
“Karakter pengunjung Lippo Plaza Jogja itu lebih cenderung ke anak muda dan anak muda itu antusias pada film. Jadi potensinya besar,” ucap Anton. Suluh pun menceritakan ada wajah-wajah baru selain penonton KDM yang ia lihat menonton film selama dua kali pelaksanaan Moviesphere. Bulan Februari nanti, Moviesphere direncanakan bakal diadakan lagi untuk kembali mengenalkan film-film pendek ke banyak orang.