Artikel

Kamila Andini Bicara Sekala Niskala: “Satu-satunya kekayaan kita itu cuma kebebasan”

Kamila Andini menerima permintaan wawancara sambil menggendong Binar usai nobar yang diselenggarakan di Jatinangor. (foto: Razny Mahardhika)

Infoscreening.co – “Wah luar biasa. Sejauh ini, penonton Jatinangor yang terbaik,” ujar Kamila Andini mengenai penonton acara nonton bareng (nobar) Sekala Niskala di Jatinangor, pada Senin (12/3). Penonton tampak memenuhi seluruh bangku penonton di dalam studio 5, Cinema 21 Jatos. Setelah nobar, penonton pun aktif menyampaikan pendapat dan memberikan pertanyaan kepada Kamila Andini selaku sutradara. Sekala Niskala adalah film panjang kedua Kamila Andini setelah Laut Bercermin (The Mirror Never Lies) yang dirilis pada 2011.

HIMA-TVF Unpad bekerja sama dengan CC Fikom Unpad untuk mengadakan acara nobar Sekala Niskala di Jatinangor. Sebelum Jatinangor, acara nobar juga diadakan di beberapa kota: Jakarta, Banjarmasin, Palu, Solo, Surabaya, Tangerang, Lampung dan Yogyakarta atas inisiasi komunitas-komunitas film. Acara nobar tersebut diadakan sejak hari pertama tayang, 8 Maret 2018 yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day).

Suasana diskusi Sekala Niskala usai nobar. Pemandangan serupa juga biasa ditemui dalam diskusi nobar lainnya di berbagai lobi bioskop, terutama yang dihadiri oleh Kamila Andini. (foto: Gabriel Reza)

Sebelum akhirnya dapat dinikmati dalam pemutaran reguler bioskop Indonesia, Sekala Niskala sudah lebih dulu diputar di berbagai festival film di dunia, seperti Toronto International Film Festival 2017, Busan International Film Festival 2017, Berlin International Film Festival 2018, dll. Selain itu, Sekala Niskala juga berhasil menorehkan prestasi dengan meraih penghargaan Best Youth Feature Film di Asia Pacific Screen Awards 2017, Grand Prix Winner di TOKYO FILMeX 2017, Grand Prix Winner di Berlin International Film Festival Generation Kplus 2018, dll.

Baca juga: Berprestasi di Internasional, Sekala Niskala Sajikan Lokalitas Indonesia

Sekala Niskala bercerita tentang sepasang kembar buncing (laki-laki dan perempuan), yaitu Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) dan Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) yang akan segera berpisah. Suatu hari Tantra masuk rumah sakit karena kondisinya semakin lemah. Dari hari ke hari, kesehatan Tantra makin menurun hingga ia tidak bisa lagi merasakan sesuatu dengan panca indranya. Tantri pun menyadari bahwa ia hanya punya sedikit waktu untuk menghabiskan waktu bersama Tantra. Sejak itu, Tantri sering mengajak Tantra untuk bermain.

Selesai tanya-jawab dengan penonton Sekala Niskala di Jatinangor, Rasyid Baihaqi dari Infoscreening menghampiri Kamila Andini untuk membicarakan film Sekala Niskala, keterlibatan banyak perempuan di balik layar pembuatannya, dan pendapatnya mengenai film anak di Indonesia. Sembari menggendong anak keduanya, Binar, Kamila Andini menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.

Bagaimana awal mula proyek film Sekala Niskala?

Untuk film kedua, saya mau mencari lebih jauh diri saya sebagai orang timur, manusia timur, manusia Indonesia, seperti apa kita berkoneksi, bagaimana kita berelasi. Lalu mendengar mengenai sekala niskala (yang nyata dan yang gaib -red), filosofinya orang Bali tentang bagaimana mereka percaya bahwa kehidupan mereka itu terjadi karena mereka percaya sekala dan niskala juga.

Bagaimana Anda melakukan riset mengenai budaya Bali?

Risetnya panjang banget. Semua unsur diriset mulai dari tari, terutama bagaimana mereka hidup, menjalani hidup. Apa yang dipercayai, dan apa yang benar-benar dijaga. Bagaimana berkoneksi dengan alam. Belajar canang. Ini buat apa, itu buat apa. Jadi memang riset panjang banget dan kayaknya hampir semua unsur pengen dimasukkan ke filmnya. Tapi memang ada hal yang dimasukkan sampai akhir dan ada juga yang tidak pas menggambarkan sekala niskala.

Apa sebenarnya yang tampak dan tidak tampak di Bali?

Yang tampak tuh sebenarnya, kayak yang tadi saya bilang (saat diskusi) bahwa Bali itu punya dua sisi. Yang tampak itu mungkin kita, terutama saya yang bukan orang Bali selalu melihat sesuatu yang dinamis, penuh warna, sangat indah, dan turistik. Tapi sebenarnya yang tidak tampak itu justru yang membuat saya lebih mencintai Bali, kayak saya suka banget kulturnya, kehidupan mereka yang sangat meditatif, sangat spiritual. Orang-orangnya yang memang sangat lembut, sangat memegang teguh kulturnya, dan kultur itu hadir di setiap perjalanan hidup mereka. Sisi itu yang memang saya pengen gambarkan dalam film ini.

Bagaimana proses pengembangan naskah saat residensi dan setelah mendapat pendanaan dari festival film luar negeri?

Salah satu catatan penting yang mereka sering tanyakan itu soal penggambarannya. Kadang kan di naskah itu gak bisa dilihat, karena naskah unsurnya kata-kata dan visualisasinya masih belum kebayang kayak apa. Nah catatan-catatan ini yang selalu saya pegang dan gunakan untuk mencari. Kadang-kadang mereka punya perspektif yang berbeda sekali dengan perspektif orang timur dan ini memang kesulitannya film ini saat di residensi atau project market, karena ini ada perspektif yang sangat lokal. Tapi mereka selalu memberi catatan bagaimana ini bisa jadi universal. Ada hal yang membuat mereka relate dan itu memang jadi PR yang saya cari terus selama perjalanannya. Gimana ini cukup universal meskipun ada hal yang orang gak ngerti. Itu sih gunanya melakukan perjalanan itu karena ada perspektif-perspektif yang beda, yang saya jadi bisa berpikir ulang.

Film Sekala Niskala dan film-film Anda sebelumnya sering memunculkan tokoh anak-anak. Kenapa Anda tertarik dengan anak-anak?

Menurut saya, masa anak-anak itu masa-masa questioning. Semua itu dilihat dengan straightforward tapi juga sangat curious. Ini sebenarnya pola berpikir yang buat saya menarik. Saat memakai perspektif mereka itu kemudian,saya bisa melihat dengan sesederhana mungkin tapi juga mempertanyakan hal-hal yang mungkin gak kepikiran untuk ditanyakan. Nah ini yang buat saya menarik punya perspektif anak-anak.

Bagaimana tanggapan anak-anak saat menonton Sekala Niskala?

Kalau anak saya sih langsung bilang bagus banget tapi dia gak objektif karena dia salah satu pembuatnya sebenarnya. Tapi kalau di Berlin itu lucu banget karena mereka (anak-anak) itu punya reaksi yang berbeda, misalnya saat melihat tari-tari binatang. Karena kalau orang dewasa menyadari kalau itu metafor dari perasaan dan itu harusnya adegan sedih. Tapi kalau anak-anak melihat seperti itu kan kayak “wah monyet”, “dia jadi ayam”, “what is she doing?” Jadi di adegan-adegan itu mereka excited dan ribut gitu, jadi beda banget. Tapi menurutku ya gak apa-apa juga. Ini film yang sebenarnya, anak-anak itu bisa mempertanyakan apa pun yang mereka mau. Karena itu film ini dibuat untuk mempertanyakan diri sendiri, untuk jadi lebih kritis. Buat anak-anak, it’s a perfect film karena mereka bisa menanyakan semuaunsur dalam film ini. Jadi pas tanya-jawab, kita gak selesai-selesai karena semuanya ditanyakan. Dan memang tujuannya itu, karena ini film yang gak menggurui kamu tapi memang akan membuatmu bertanya dan it’s a good thing.

 Menurut Anda bagaimana film anak-anak di Indonesia sekarang?

Film anak sebenarnya yang paling menantang tapi juga menarik. Karena memang pasarnya paling luas di Indonesia. Jadi pasti banyak banget yang tertarik bikin film anak. Tapi menantang kan gimana caranya gak bikin film anak yang gak gitu-gitu saja. Nah ini yang sebenarnya perlu lebih banyak film anakuntuk lebih mengeksplor lagi dunia mereka atau pemikiran-pemikiran tentang dunia mereka. Tapi sekarang lagi ada beberapa film anak yang menurut saya menarik untuk ditunggu. Yang memang untuk anak-anak beneran, bukan kayak film saya (tertawa).

Film Sekala Niskala tayang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, apakah disengaja?

Sebenarnya gak sengaja. Sebenarnya kita sudah promosi 1 Maret tapi karena kuasa tanggal gak ada di kita, terus jadi mundur jadi tanggal 8 Maret (tertawa). Terus kita bete dan sedih harus menghibur diri. Menghibur dirinya ternyata bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, yaudah (tertawa). Kita responsif saja sama kayak filmnya. Karena memang salah satu hal yang dirayakan dalam film ini kan kebebasan. Satu-satunya kekayaan kita itu cuma kebebasan. Jadi kita bebas ngapain saja (tertawa).

Saya lihat banyak kru perempuan di balik layar, bagaimana pengalaman dengan banyak perempuan yang terlibat?

Sebenarnya gak terencana semuanya perempuan. Lebih karena aku pernah kerjasama dengan mereka dan tahu kalau kerjasama dengan perempuan ada sesuatu yang gak perlu dideskripsikan. Karena salah satu hal di film ini bicara tentang dualisme dan perempuan itu punya dualisme di satu tubuhnya. Makanya kadang kita sering disebut manusia ambivalen. Kita gabungan keras dan lembut; hangat dan dingin. Nah itu yang sebenarnya pengen dirasakan di film ini tanpa harus dijelaskan atau direncanakan. Karena biasanya dalam prosesnya, saya organik banget, jadi gimana caranya hal seperti itu tumbuh dan keluar dalam karya secara natural. Kalau gak dengan perempuan-perempuan, saya rasa gak mungkin sih.

Apa rencana ke depan setelah film Sekala Niskalarilis?

Lagi menulis tentang pernikahan remaja. Yaudah itu dulu (tertawa).

Pertanyaan trivia. Apa pendapat Anda mengenai karya dari sineas-sineas berikut:

 Pritagita Arianegara

Karya-karyanya sangat jelas dengan pendekatan bertutur yang berbeda dengan yang lain. Saya menunggu juga karya-karyanya.

Ifa Isfansyah

Menurutku, Mas Ifa itu director yang director gitu. Kayaknya dikasih cerita kayak gimana saja, dia bisa bikin (tertawa). Jadi itu yang saya lihat dari karya-karyanya. Bagaimanapun dia orang yang sangat humanis, jadi selalu kalau mau bikin kayak apa pun, cerita tentang manusianya akan lebih kental dan terasa.

 Mouly Surya

Menurutku, dia sangat berbakat karena dia tahu sinema dengan baik. Dia punya perspektif yang bukan cuma perempuan bahkan orang lain mungkin gak punya. Dia sangat bold, maksudnya karakter sutradara yang sangat bold. Karakters sutradara yang tahu apa yang dia mau, apa yang dia pengen bikin. Itu tuh keras, jelas dan sangat ambisius. Jadi asyik banget. Sebenarnya dia campuran yang sangat asyik.

 Garin Nugroho

Kalau Garin Nugroho dia bukan cuma sutradara ya sebenarnya, bisa dibilang budayawan. Karena memang dia punya concern yang lebih jauh dibandingkan cuma film sebenarnya. Buat Garin Nugroho, film itu sudah borderless. Dia melihat film sebagai seni dan seni itu sebenarnya sangat luas. Jadi dia melihat sinema seluas itu. Itu yang membuat saya selalu tertarik melihat karya-karya dia, isi kepala dia karena dia bukan cuma sutradara. Dia itu guru. Dia itu budayawan. Dia itu politikus. Jadi menuangkan semua pemikiran itu ke dalam film kan kayaknya asyik banget, menarik banget (tertawa).

Baca tulisan-tulisan lain dari Rasyid pada halaman berikut.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top